Sabtu, 22 Juli 2017

Person Centered Therapy

Person Centered Therapy
Carl R. Rogers mengembangkan terapi client centered therapy sebagai reaksi terhadap apa yang disebutnya keterbatasan- keterbatasan mendasar dari psikoanalisis. Pada hakikatnya, pendekatan client centered adalah cabang dari terapi humanistik yang menggaris bawahi tindakan mengalami klien berikut dunia subjektif dan fenomenalnya. Pendekatan client centered ini menaruh kepercayaan yang besar pada kesanggupan klien untuk mengikuti jalan terapi dan menemukan arahnya sendiri. Menurut Rogers (dalam Corey, 2009) menyebutkan bahwa: "terapi client centered merupakan teknik konseling dimana yang paling berperan adalah klien sendiri, klien dibiarkan untuk menemukan solusi mereka sendiri terhadap masalah yang tengah mereka hadapi. Hal ini memberikan pengertian bahwa klien dipandang sebagai partner dan konselor hanya sebagai pendorong dan pencipta situasi yang memungkinkan klien untuk bisa berkembang sendiri. Jadi terapi client centered adalah terapi yang berpusat pada diri klien, yang mana seorang konselor hanya memberikan terapi serta mengawasi klien pada saat mendapatkan pemberian terapi tersebut agar klien dapat berkembang atau keluar dari masalah yang dihadapinya.

Tujuan Client Centered Therapy:


  • Menciptakan suasana yang kondusif bagi klien untuk mengeksplorasi diri sehingga dapat mengenal hambatan pertumbuhannya .
  • Membantu klien agar dapat bergerak ke arah keterbukaan, kepercayaanyang lebih besar kepada dirinya,keinginan untuk menjadi pribadi yang mandiri dan meningkatkan spontanitas hidupnya.
  • Menyediakan iklim yang aman dan percaya dalam pengaturan konseling sedemikian sehingga konseli, dengan menggunakan hubungan konseling untuk self-exploration, menjadi sadar akan blok/hambatan ke pertumbuhan.
  • Konseling cenderung untuk bergerak ke arah lebih terbuka, kepercayaan diri lebih besar, lebih sedia untuk meningkatkan diri sebagai lawan menjadi mandeg, dan lebih hidup dari standard internal sebagai lawan mengambil ukuran eksternal untuk apa ia perlu menjadi.

Kelebihan Person Centered Therapy:
  1. Memberikan landasan humanistik bagi usaha memahami dunia subyektif klien, memberikan peluang yang jarang kepada klien untuk sungguh-sungguh didengar dan mendengar.
  2. Mereka bisa menjadi diri sendiri, sebab mereka tahu bahwa mereka tidak akan di evaluasi dan dihakimi.
  3. Mereka akan merasa bebas untuk bereksperimen dengan tingkah laku baru.
  4. Mereka dapat diharapkan memikul tanggung jawab atas diri mereka sendiri, dan merekalah yang memasang langkah dalam konseling.
  5. Mereka yang menetapkan bidang-bidang apa yang mereka ingin mengeksplorasinya di atas landasan tujuan-tujuan bagi perubahan.
  6. Pendekatan Client-Centered menyajikan kepada klien umpan balik langsung dan khas dari apa yang baru dikomunikasikannya.
  7. Terapis bertindak sebagai cermin, mereflesikan perasaan-perasaan kliennya yang lebih dalam
Kesimpulanya,klien memiliki kemungkinan untuk mencapai fokus yang lebih tajam dan makna yang lebih dalam, dan perhatian klien difokuskan pada banyak hal yang sebelumnya tidak diperhatikannya.

Kelemahan pendekatan Client-Centered

  1. Cara sejumlah pemratek menyalahtafsirkan atau menyederhanakan sikap-sikap sentral dari posisi Client-Centered.
  2. Tidak semua konselor bisa mempraktekan terapi Client-Centered, sebab banyak konselor yang tidak mempercayai filsafat yang melandasinya.
  3. Membatasi lingkup tanggapan dan gaya konseling mereka sendiri pada refleksi-refleksi dan mendengar secara empatik.
  4. Adanya jalan yang menyebabkan sejumlah pemraktek menjadi terlalu terpusat pada klien sehingga mereka sendiri kehilangan rasa sebagai pribadi yang unik.

Peran Konselor dalam Person Centered Therapy
Kemampuan konselor membangun hubungan interpersonal dalam proses konseling merupakan elemen kunci keberhasilan konseling, disini konselor berperan mempertahankan 3 konsdisi inti (core condition) yang menghadirkan iklim kondusif untuk mendorong terjadinya perubahan terapeutik dan perkembangan konseli, meliputi :
  • Sikap yang selaras dan keaslian (congruence or genuineness), konselor menampilkan diri yang sebenarnya, asli, terintegrasi dan otentik. Konselor juga selaras menampilkan antara perasaan dan pikiran yang ada didalam dirinya dengan perasaan, pandangan dan tingkah laku yang diekspresikan
  • Penerimaan tanpa syarat (unconditional positive regard and acceptance), konselor dapat berkomunikasi dengan konseli secara mendalam dan jujur sebagai pribadi, konselor tidak melakukan penilaian dan penghakiman terhadap perasaan, pikiran dan tingkah laku berdasarkan standar norma tertentu
  • Acceptance, Penghargaan spontan terhadap konseli, dan menerimanya sebagai individu yang berbeda dengan konselor, dimana perbedaan tersebut dapat terjadi pada nilai-nilai, persepsi diri, maupun pengalaman-pengalaman hidupnya.
  • Pemahaman yang empatik dan akurat (accurate empathic undertanding), kemampuan konselor untuk memahami permasalah konseli, melihat sudut pandangan konseli, peka terhadap perasaan-perasaan konseli, sehingga konselor mengetahui bagaimana konseli merasakan perasaanya.


 Video Person Centered Therapy

Analisis Video Person Centered Therapy
Pada saat memulai sesi terapi, konselor menyapa klien dan bertanya tentang kabar klien, lalu berkata kepada klien untuk menceritakan yang ia rasakan tanpa ragu. Setelah itu, klien mulai bercerita, klien mengatakan bahwa ia merasa hidupnya tidak adil. Konselor bertanya apa yang alasan yang menyebabkan itu terjadi, lalu klien menjawab sambil merasa ragu dan mengatakan "apa saya bisa menceritakan semuanaya?". Konselor meyakinkan klien untuk menceritakan apa yang klien rasakan dan mengatakan bahwa konselor akan mendengarkan semua yang klien bicarakan.
Klien mulai menceritakan tentang apa yang ia rasakan, klien merasa sudah sangat bekerja keras untuk belajar, dan tidak pergi ke pesta bersama teman-temannya, dan selalu melakukan hal-hal yang baik. Klien mengatakan bahwa orang-orang memujinya sebagai orang yang baik, tetapi tidak dengan orangtuanya. Klien mengatakan bahwa orang tua klien tidak pernah menghargai klien, dan hanya melihat kesalahannya sehingga membuat klien pergi.
Konselor mengatakan ulang apa yang diceritakan klien tentang orang tuanya, lalu klien menceritakan lagi tentang orang tuanya. Klien berkata bahwa ia tidak pernah membicarakan orang tuanya di belakang mereka, tidak pernah menjawab mereka, dan selalu diam setiap mereka mengatakan sesuatu karena itu menyakitkan klien. Klien juga mengatakan bahwa kadang ia menangis sampai tertidur karena tidak tahu harus berbuat apa, ia hanya ingin orang tuanya menghargainya seperti orang-orang, tetapi orang tuanya tidak pernah melakukan itu.
Konselor memberikan perkataan yang positif terhadap klien dengan mengatakan bahwa "anda sudah berusaha sangat baik dalam melakukan apapun, dan teruslah lanjutkan untuk membuat orang-orang bangga padamu. Ada saya ada disini yang akan mendengarkan dan membantu anda".
Klien mengatakan kepada konselor bahwa ada suatu hal yang membuatnya depresi beberapa hari belakangan, ia bercerita bahwa dua minggu yang lalu ia putus dengan pacarnya karena pacarnya menganggap ia sangat terobsesi untuk menjadi sempurna. Klien mengatakan bahwa ia merasa pacarnya tidak mengerti bahwa yang ia lakukan adalah untuk pacarnya dan orangtuanya, ia mengira bahwa pacarnya tidak akan meninggalkannya.
Konselor mengatakan bahwa ia mengerti apa yang klien rasakan dan ia juga berkata bahwa ini berat, tetapi bukan hanya klien yang merasakan seperti itu, banyak orang juga yang mengalaminya dan bahkan lebih berat. Klien bertanya kepada konselor apa yang harus ia lakukan, dan ia juga mengatakan bahwa ia tidak makan dan tidak tidur, ia merasa hari-harinya tidak berguna dan selalu merasa frustasi.
Konselor berkata kepada klien untuk menutup matanya dan membayangkan sebuah keluarga bahagia sedang di taman, anak-anaknya tertawa bahagia, dan orang tuanya menjaga mereka agar tidak terjatuh. Setelah itu, salah satu anaknya ada yang terjatuh, dan orang tuanya marah sehingga mengajak mereka untuk pulang ke rumah. Konselor bertanya kepada klien "apa yang anda pikirkan? haruskah sang anak protes dan mengatakan untuk tetap berada di taman, atau haruskah mereka pulang ke rumah sesuai apa yang orang tuanya katakan?". Klien menjawab pertanyaan konselor "saya rasa mereka harus mengikuti apa yang orang tua mereka katakan karena orang tua mereka tau yang terbaik untuk mereka". Konselor mengatakan "kita sudah tahu jawabannya sekarang", lalu klien menceritakan sebuah kejadian saat ia jatuh dari tangga, ia terluka dan ia mengatakan bahwa ia tidak bisa mengetahui apa yang orang tuanya inginkan darinya, dan ia berkata bahwa ia harus berbicara pada orang tuanya.
Konselor meyakinkan klien untuk berbicara pada orang tuanya dan mengatakan apa yang ada dalam pikirannya, ceritakan kepada mereka bahwa apa yang ia lakukan adalah untuk membuat mereka bangga. Konselor mengatakan kepada klien untuk memperbaiki hubungan klien dengan orang tuanya karena itu lebih penting daripada hubungan dengan pacarnya.
Klien mengerti dan ingin mencoba untuk memperbaiki hubungan dengan orang tuanya karena ia merasa orang tuanya lah yang sangat membantu ia saat masih kecil dan akan selalu ada saat ia butuh ketika ia dewasa, dan mengenai mantan pacarnya, klien mengatakan bahwa ia tidak tahu harus berbuat apa, namun ia akan memikirkannya di lain waktu.
Konselor kembali memberikan kata-kata positif kepada klien bahwa ia harus menghadapi setiap permasalahannya, dan jangan lari dari semua itu karena itu hanya akan membuatnya menjadi semakin rumit.
Kesimpulan dari analisis video Person Centered Therapy ini adalah bahwa konselor hanya memberikan terapi kepada klien, dan klien yang menyelesaikan masalah yang ia hadapi.

Daftar Pustaka

Corey, G. (2009). Teori dan praktek dari konseling dan psikoterapi. Bandung: PT Refika Aditama
Prayitno, E. A. (1999). Dasar-dasar bimbingan dan konseling. Jakarta : Rineka Cipta.

Selasa, 04 April 2017

Psikoterapi

Psikoterapi
TERAPI PSIKOANALISIS
Dasar dari terapi psikoanalisis adalah konsep dari Sigmund Freud dan beberapa pengikutnya. Tujuan dari psikoanalisis adalah menyadarkan individu dari konflik yang tidak disadari serta mekasisme pertahanan (defense mechanism) yang digunakan untuk mengembalikan kecemasan. Apabila motif dan rasa takut yang tidak disadari telah diketahui, maka hal-hal tersebut dapat diatasi dengan cara yang lebih rasional dan realistis.

TEKNIK-TEKNIK TERAPI PSIKOANALISIS

Teknik-teknik dalam Psikoanalisis disesuaikan untuk meningkatkan kesadaran, memperoleh pemahaman intelektual atas tingkah laku klien, serta untuk memahami makna dari beberapa gejala. Kemajuan terapeutik diawali dari pembicaraan klien ke arah katarsis, pemahaman, hal-hal yang tidak disadari, sampai dengan tujuan pemahaman masalah-masalah intelektual dan emosional. Untuk itu diperlukan teknik-teknik dasar psikoanalisis, yaitu :
1.    Asosiasi Bebas
Asosiasi Bebas merupakan teknik utama dalam psikoanalisis. Terapis meminta klien agar membersihkan pikirannya dari pikiran-pikiran dan renungan-renungan sehari-hari, serta sedapat mungkin mengatakan apa saja yang muncul dan melintas dalam pikiran. Cara yang khas adalah dengan mempersilakan klien berbaring di atas balai-balai, sementara terapis duduk dibelakangnya sehingga tidak mengalihkan perhatian klien pada saat-saat asosiasinya mengalir dengan bebas.
Asosiasi bebas merupakan suatu metode pemanggilan kembali pengalaman-pengalaman masa lampau dan pelepasan emosi-emosi yang berkaitan dengan situasi traumatis masa lalu, yang kemudian dikenal dengan katarsis. Kartarsis hanya menghasilkan perbedaan sementara atas pengalaman-pengalaman menyakitkan pada klien, tetapi tidak memainkan peran utama dalam proses treatment (Corey, 1995).
2.      Penafsiran (Interpretasi)
Penafsiran merupakan prosedur dasar di dalam menganalisis asosiasi bebas,            mimpi-mimpi, resistensi, dan transferensi. Caranya adalah dengan tindakan tindakan terapis untuk menyatakan, menerangkan dan mengajarkan klirn makna-makna tingkah laku apa yang dimanifestasikan dalam mimpi, asosiasi bebas, resistensi, dan hubungan terapeutik itu sendiri. Fungsi dari penafsiran ini adalah mendorong ego untuk mengasimilasi bahan-bahan baru dan mempercepat proses pengungkapan alam bawah sadar secara lebih lanjud. Penafsiran yang diberikan oleh terapis menyebabkan adanya pemahaman dan tidak terhalanginya alam bawah sadar pada diri klien. (Corey, 1995).
3.      Analisis Mimpi
Analisis Mimpi adalah prosedur atau cara yang penting untuk mengungkap alam bawah sadar dan memberikan kepada klien pemahaman atas beberapa area masalah yang tidak terselesaikan. Selama tidur, pertahanan-pertahanan melemah, sehingga perasaan-perasaan yang direpres akan muncul kepermukaan, meski dalam bentuk lain. Freud memandang bahwa mimpi merupakan “jalan istimewa menuju ketidaksadaran”, karena melalui mimpi tersebut hasrat-hasrat, kebutuhan-kebutuhan, dan ketakutan tak sadar dapat diungkapkan. Beberapa motivasi sangat tidak dapat diterima oleh seseorang, sehingga akhirnya diungkapkan dalam bentuk yang disamarkan atau disimbolkan dalam bentuk yang berbeda.
Mimpi memiliki dua taraf, yaitu isi laten dan isi manifes. Isi laten terdiri atas motif-motif yang disamarkan, tersembunyi, simbolik, dan tidak disadari. Karena begitu menyakitkan dan mengancam, maka dorongan-dorongan seksual dan perilaku agresif tak sadar (yang merupakan isi laten) ditransformasikan ke dalam isi manifes yang lebih dapat diterima, yaitu impian yang tampil pada si pemimpi sebagaimana adanya. Sementara tugas terapis adalah mengungkapkan makna-makna yang disamarkan dengan mempelajari simbol-simbol yang terdapat dalam isi manifes. Di dalam proses terapi, terapis juga dapat meminta klien untuk mengasosiasikan secara bebas sejumlah aspek isi manifes impian untuk mengungkapkan makna-makna yang terselubung (Corey, 1995).
4.      Resistesi
Resistensi adalah sesuatu yang melawan kelangsungan terapi dan mencegah klien mengemukakan bahan yang tidak disadari. Selama asosiasi bebas dan analisis mimpi, klien dapat menunjukkan ketidaksediaan untuk menghubungkan pikiran, perasaan, dan pengalaman tertentu. Freud memandang bahwa resistensi dianggap sebagai dinamika tak sadar yang digunakan oleh klien sebagai pertahanan terhadap kecemasan yang tidak bisa dibiarkan, yang akan meningkat jika klien menjadi sadar atas dorongan atau perasaan yang direpres tersebut.
Dalam proses terapi, resistensi bukanlah sesuatu yang harus diatasi, karena merupakan perwujudan dari pertahanan klien yang biasanya dilakukan sehari-hari. Resistensi ini dapat dilihat sebagai sarana untuk bertahan klien terhadap kecemasan, meski sebenarnya menghambat kemampuannya untuk menghadapi hidup yang lebih memuaskan (Corey, 1995).
5.      Transferensi
Resistensi dan Transferensi merupakan dua hal inti dalam terapi psikoanalisis. Transferensi dalam keadaan normal adalah pemindahan emosi dari satu objek ke objek lainnya, atau secara lebih khusus pemindahan emosi dari orangtua kepada terapis. Dalam keadaan neurosis, merupakan pemuasan libido klien yang diperoleh melalui mekanisme pengganti atau lewat kasih sayang yang melekat dan kasih sayang pengganti. Seperti ketika klien menjadi lekat dan jatuh cinta pada terapis sebagai pemindahan dari orangtuanya (Chaplin, 1995).
Transferensi mengejawantah ketika dalam proses terapi “urusan yang tidak selesai” (unfinished business) masa lalu klien dengan orang-orang yang dianggap berpengaruh menyebabkan klien mendistorsi dan bereaksi terhadap terapis sebagaimana dia bereaksi terhadap ayah/ibunya. Dalam hubungannya dengan terapis, klien mengalami kembali perasaan menolak dan membenci sebagaimana yang dulu dirasakan kepada orangtuanya. Tugas terapis adalah membangkitkan neurosis transferensi klien dengan kenetralan, objektivitas, keanoniman dan kepasifan yang relatif. Dengan cara ini, maka diharapkan klien dapat menghidupkan kembali masa lampaunya dalam terapi dan memungkinan klien mampu memperoleh pemahaman dan sifat-sifat dari fiksasi-fiksasi, konflik-konflik atau deprivasi-deprivasinya, serta mengatakan kepada klien suatu pemahaman mengenai pengaruh masa lalu terhadap kehidupannya saat ini (Corey, 1995).

Behavioristik
Behaviorisme adalah aliran dalam psikologi yang didirikan oleh John B. Watson pada tahun 1913 dan digerakkan oleh Burrhus Frederic Skinner. Behaviorisme lahir sebagai reaksi atas psikoanalisis yang berbicara tentang alam bawah yang tidak tampak.  Behaviorisme ingin menganalisis bahwa perilaku yang tampak saja yang dapat diukur, dilukiskan dan diramalkan. Terapi perilaku ini lebih mengkonsentrasikan pada modifikasi tindakan, dan berfokus pada perilaku saat ini daripada masa lampau. Belakangan kaum behavioris lebih dikenal dengan teori belajar, karena menurut mereka, seluruh perilaku manusia adalah hasil belajar. Belajar artinya perubahan perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan.
Terdapat beberapa teknik dalam konseling behaviorisme, yaitu
a.       Desentisiasi Sistematis
Teknik relaksasi yang digunakan untuk menghapus perilaku yang diperkuat secara negatif, biasanya berupa kecemasan, dan ia menyertakan respon berlawanan dengan perilaku yang akan dihilangkan.
b.      Terapi Impolsif
Dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa seseorang yang secara berulang-ulang dihadapkan pada suatu situasi penghasil kecemasan dan konsekuensi-konsekuensi yang menakutkan ternyata tidak muncul, maka kecemasan akan menghilang.
c.       Latihan Perilaku Asertif
Digunakan untuk melatih individu yang mengalami kesulitan untuk menyatakan diri bahwa tindakannya adalah layak atau benar.
d.      Pengkondisian Aversi
Dilakukan untuk meredakan perilaku simptopatik dengan cara menyajikan stimulus yang tidak menyenangkan (menyakitkan) sehingga perilaku yang tidak dikehendaki tersebut terhambat kemunculannya.
e.       Pembentukan Perilaku Model
Digunakan untuk membentuk perilaku baru klien dan memperkuat perilaku yang sudah terbentuk


Humanistik
Pendekatan Humanistik menganggap bahwa setiap manusia itu unik dan setiap manusia sebenarnya mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Setiap manusia dengan keunikannya bebas menentukan pilihan hidupnya sendiri. Oleh karena itu, dalam terapi humanistik, seorang psikoterapis berperan sebagai fasilitator perubahan saja, bukan mengarahkan perubahan. Psikoterapis tidak mencoba untuk mempengaruhi klien, melainkan memberi kesempatan klien untuk memunculkan kesadaran dan berubah atas dasar kesadarannya sendiri.  psikologi humanistik atau disebut juga dengan nama psikologi kemanusiaan adalah suatu pendekatan yang multifaset terhadap pengalaman dan tingkah laku manusia, yang memusatkan perhatian pada keunikan dan aktualisasi diri manusia.
Teknik yang digunakan dalam Behavioristik adalah
1.      Person-Centered Therapy (Carl R. Rogers)
Terapi ini cocok untuk orang-orang dengan masalah psikologis yang ada ketidakbahagiaan dalam dirinya, mereka biasanya akan mengalami masalah emosional dalam hubungan dikehidupannya, sehingga menjadi orang yang tidak berfungsi sepenuhnya. 
Terapi ini tidak memiliki metode atau teknik yang spesifik, sikap-sikap terapis dan kepercayaan antara terapis dan klienlah yang berperan penting dalam proses terapi. Terapis membangun hubungan yang membantu, dimana klien akan mengalami kebebasan untuk mengeksplorasi area-area kehidupannya yang sekarang diingkari atau didistorsinya. Terapis memandang klien sebagai narator aktif yang membangun terapi secara interaktif dan sinergis untuk perubahan yang positif. Dalam terapi ini pada umumnya menggunakan teknik dasar mencakup mendengarkan aktif, merefleksikan perasaan-perasaan atau pengalaman, menjelaskan, dan “hadir” bagi klien, namun tidak memasukkan pengetesan diagnostik, penafsiran, kasus sejarah, dan bertanya atau menggali informasi. Untuk terapis person centered, kualitas hubungan terapi jauh lebih penting daripada teknis. Terapis harus membawa ke dalam hubungan tersebut sifat-sifat khas yang berikut;
  • Menerima : Terapis menerima pasien dengan respek tanpa menilai atau mengadilinya entah secara positif atau negatif. Pasien dihargai dan diterima tanpa syarat. Dengan sikap ini terapis memberi kepercayaan sepenuhnya kepada kemampuan pasien untuk meningkatkan pemahaman dirinya dan perubahan yang positif.
  • Keselarasan : Terapis dikatakan selaras dalam pengertian bahwa tidak ada kontradiksi antara apa yang dilakukannya dan apa yang dikatakannya.
  • Pemahaman : Terapis mampu melihat pasien dalam cara empatik yang akurat. Dia memiliki pemahaman konotatif dan juga kognitif.
  • Mampu mengkomunikasikan sifat-sifat khas ini : Terapis mampu mengkomunikasikan penerimaan, keselarasan dan pemahaman kepada pasien sedemikian rupa sehingga membuat perasaan-perasaan terapis jelas bagi pasien.
  • Hubungan yang membawa akibat: Suatu hubungan yang bersifat mendukung (supportive relationship), yang aman dan bebas dari ancaman akan muncul dari teknik-teknik diatas.

2. Gestalt Therapy (Fritz Perls)
  Terapi Gestalt adalah suatu terapi yang eksistensial yang menekankan kesadaran disini dan sekarang. Konsep-konsep utamanya mencakup penerimaan tanggung jawaab pribadi, hidup pada saat sekarang, pengalaman langsung, penghindaran diri, urusan yang tidak sesuai dan penembusan jalan buntu.
            Sasaran terapeutik utamanya adalah menantang klien untuk beralih dari dukungan lingkungan kepada dukungan sendiri. Dalam pendekatan ini, terapis membantu klien agar mengalami penuh segenap perasaannya dan supaya klien mampu membuat penafsiran-penafsiran sendiri. Serta terapis lebih memusatkan perhatian pada bagaimana klien bertindak.
Salah satu kelebihan terapi Gestalt adalah pengalaman-pengalaman masa lampau klien yang relevan dibawa ke saat sekarang, sehingga hasilnya jauh lebih baik disbanding dengan hanya membicarakan keterangan histiris klien secara abstrak. Akan tetapi, terapi Gestalt cenderung anti-intelektual dalam arti kurang memperhitungkan factor-faktor kognitif.

Daftar Pustaka:
Pihasniwati. (2008). Psikologi konseling upaya pendekatan integrasi-interkoneksi. Jogjakarta: Teras.
Corey, Gerald. (2009). Teori dan Praktek dari Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT Refika Aditama.

Minggu, 27 November 2016

Kepemimpinan

1.      Kepemimpinan
a.    Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah proses memengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi.
Pengertian kepemimpinan menurut para ahli:
a.       George R. Terry (1972:458): Pengertian Kepemimpinan menurut George R. Terry adalah aktivitas mempengaruhi orang-orang supaya diarahkan mencapai tujuan organisasi. 
b.      Stoner: Menurut Stoner, pengertian kepemimpinan adalah suatu proses mengenai pengarahan dan usaha untuk mempengaruhi kegiatan yang berhubungan dengan anggota kelompok. 
c.       Jacobs dan Jacques (1990:281): Pengertian kepemimpinan menurut Jacobs dan Jacques adalah sebuah proses memberi arti terhadap usaha kolektif, dan mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran. 
d.      Wahjosumidjo (1987:11): Pengertian kepemimpinan menurut Wahjosumidjo adalah suatu yang melekat pada diri seorang pemimpin yang berupa sifat-sifat tertentu seperti: kepribadian (personality), kemampuan (ability), dan kesanggupan (capability), kepemimpinan sebagai rangkaian kegiatan (activity) pemimpin yang tidak dapat dipisahkan dengan kedudukan (posisi) serta gaya atau perilaku pemimpin itu sendiri. Kepemimpinan adalah proses antarhubungan atau interaksi antara pemimpin, pengikut dan situasi. 
e.       Sutarto (1998b:25): Menurut Sutarto, pengertian kepemimpinan adalah rangkaian kegiatan penataan berupa kemampuan mempengaruhi perilaku orang lain adalah situasi tertentu agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. 


B.    Jenis-jenis Kepemimpinan
a.       Kepemimpinan Kharismatis
Tipe kepemimpinan karismatis memiliki kekuatan energi, daya tarik dan pembawaan yang luar biasa untuk mempengaruhi orang lain, sehingga ia mempunyai pengikut yang sangat besar jumlahnya dan pengawal-pengawal yang bisa dipercaya.
b.      Kepemimpinan Paternalistik/Maternalistik
Kepemimpinan paternalistik lebih diidentikkan dengan kepemimpinan yang kebapakan dengan sifat-sifat sebagai berikut: mereka bersikap terlalu melindungi, mereka jarang memberikan kesempatan kepada bawahan untuk mengambil keputusan sendiri, mereka hampir tidak pernah memberikan kesempatan kepada bawahan untuk berinisiatif. Sedangkan tipe kepemimpinan maternalistik tidak jauh beda dengan tipe kepemimpinan paternalistik, yang membedakan adalah dalam kepemimpinan maternalistik terdapat sikap over-protective atau terlalu melindungi yang sangat menonjol disertai kasih sayang yang berlebih lebihan.
c.       Kepemimpinan Militeristik
Tipe kepemimpinan militeristik ini sangat mirip dengan tipe kepemimpinan otoriter. Adapun sifat-sifat dari tipe kepemimpinan militeristik adalah: lebih banyak menggunakan sistem perintah/komando, keras dan sangat otoriter, kaku dan seringkali kurang bijaksana, menuntut adanya disiplin yang keras dan kaku dari bawahannya, tidak menghendaki saran, usul, sugesti, dan kritikan-kritikan dari bawahannya.
d.      Kepemimpinan Otokratis
Kepemimpinan otokratis memiliki ciri-ciri antara lain: mendasarkan diri pada kekuasaan dan paksaan mutlak yang harus dipatuhi, pemimpinnya selalu berperan sebagai pemain tunggal, berambisi untuk merajai situasi, selalu ingin berkuasa secara absolut, sikap dan prinsipnya sangat konservatif, kuno, ketat dan kaku\
e.       Kepemimpinan Laissez Faire
Kepemimpinan ini praktis pemimpin tidak memimpin, dia membiarkan kelompoknya dan setiap orang berbuat semaunya sendiri. Pemimpin tidak berpartisipasi sedikit pun dalam kegiatan kelompoknya. Semua pekerjaan dan tanggung jawab harus dilakukan oleh bawahannya sendiri.
f.       Kepemimpinan Populistis
Kepemimpinan populis berpegang teguh pada nilai-nilai masyarakat yang tradisonal, tidak mempercayai dukungan kekuatan serta bantuan hutang luar negeri. Kepemimpinan jenis ini mengutamakan penghidupan kembali sikap nasionalisme.
g.      Kepemimpinan Administratif/Eksekutif
Kepemimpinan tipe administratif ialah kepemimpinan yang mampu menyelenggarakan tugas-tugas administrasi secara efektif. Pemimpinnya biasanya terdiri dari teknokrat-teknokrat dan administratur-administratur yang mampu menggerakkan dinamika modernisasi dan pembangunan. Oleh karena itu dapat tercipta sistem administrasi dan birokrasi yang efisien dalam pemerintahan.
h.      Kepemimpinan Demokratis
Kepemimpinan demokratis menghargai potensi setiap individu, mau mendengarkan nasehat dan sugesti bawahan. Bersedia mengakui keahlian para spesialis dengan bidangnya masing-masing. Mampu memanfaatkan kapasitas setiap anggota seefektif mungkin pada saat-saat dan kondisi yang tepat.

C.  Fungsi Kepemimpinan
Sondang P. Siagian dalam bukunya Teori dan Praktek Kepemimpinan mengatakan beberapa fungsi kepemimpinan sebagai berikut:
1.      Pimpinan sebagai penentu arah dalam usaha pencapaian tujuan
2.      Pemimpin sebagai wakil dan juru bicara organisasi dalam hubungan dengan pihak-pihak di luar organisasi
3.      Pemimpin sebagai komunikator yang efektif
4.      Pemimpin sebagai mediator, khususnya dalam hubungan ke dalam, terutama dalam menangani situasi konflik
5.      Pemimpin sebagai integrator yang efektif, rasional, objektif dan netral.

2.      Kepemimpinan Transformasional Dan Kepemimpinan Transaksional
a.       Pengertian Kepemimpinan Transformasional
Kepemimpinan transformasional mencakup dua unsur yang bersifat hakiki, yaitu “relasional” dan “berurusan dengan perubahan riil”. Kepemimpinan transformasional terjadi ketika seorang (atau lebih) berhubungan dengan orang-orang lain sedemikian rupa sehingga para pemimpin dan pengikut saling mengangkat diri untuk sampai kepada tingkat-tingkat motivasi dan moralitas yang lebih tinggi.
·         Contoh Kasus Kepemimpinan Transformasional
Mahatma Gandhi merupakan gambaran ideal dari seorang pemimpin transformasional. Kepemimpinan Gandhi mengedepankan nilai “non-kekerasan” dan nilai-nilai lainnya yang bersifat egalitarian, nilai-nilai mana sungguh memberikan dampak perubahan dalam diri orang-orang dan lembaga-lembaga di India. Kepemimpinan Gandhi sungguh memiliki tujuan secara moral, karena tujuannya adalah memenangkan kemerdekaan pribadi bagi orang-orang sebangsanya dengan membebaskan mereka dari penindasan oleh pemerintah kolonial Inggris. Kepemimpinan Gandhi diangkat ke atas, dalam artian dia mengangkat para pengikutnya ke tingkat moral yang lebih tinggi dengan melibatkan mereka dalam aktivitas-aktivitas non-kekerasan guna mencapai keadilan sosial. Dengan melakukan begitu, Gandhi meminta pengorbanan dari para pengikutnya, bukannya sekadar mengobral janji-janji.
b.      Pengertian Kepemimpinan Transaksional
Kepemimpinan transaksional ini terwujud ketika para pemimpin dan para pengikut (konstituen) berada dalam sejenis hubungan pertukaran (exchange relationship) satu sama lain agar kebutuhan masing-masing pihak dipenuhi. “Pertukaran” ini dapat berupa pertukaran yang bersifat ekonomis, politis atau psikologis.

·         Contoh Kepemimpinan Transaksional
Dalam suasana pemilu, biasanya para calon pemimpin mempromosikan dirinya dengan cara memberikan imbalan berupa uang atau kebutuhan sehari-hari kepada orang-orang yang memberikan suara kepada mereka atau tim sukses mereka.

Daftar Pustaka
http://www.kompasiana.com/indrapradja/kepemimpinan-transformasional-transformational-leadership_54f7cb76a33311be208b4a4a

Sabtu, 22 Oktober 2016

DEFINISI KOMUNIKASI, DIMENSI-DIMENSI KOMUNIKASI, PERAN PSIKOLOGI MANAJEMEN DALAM ORGANISASI


PSIKOLOGI MANAJEMEN
DEFINISI KOMUNIKASI, DIMENSI-DIMENSI KOMUNIKASI, PERAN PSIKOLOGI MANAJEMEN DALAM ORGANISASI


disusun oleh:
Herma Noviani (14514953)
3PA02
 

Jurusan Psikologi
Fakultas Psikologi
Universitas Gunadarma
2014
1.      Definisi Komunikasi
Kata komunikasi berasal dari bahasa latin “communicare” yang berarti “berbagi”, adalah kegiatan menyampaikan informasi melalui pertukaran pikiran, pesan, atau informasi dengan cara berbicara, visual, sinyal atau perilaku antara dua orang atau lebih. Komunikasi dapat berupa komunikasi verbal atau nonverbal.
Ruben & Steward (1998) menyatakan bahwa komunikasi manusia adalah proses yang melibatkan individu-individu dalam suatu hubungan, kelompok, organisasi, dan masyarakat yang merespon dan menciptakan pesan untuk beradaptasi dengan lingkungan satu sama lain.
Lasswell dalam The Structure and Function of Communication in Society mengemukakan bahwa cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan sebagai berikut: Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?
Paradigma Lasswell menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan, yaitu:
1)      Komunikator (siapa yang mengatakan?)
2)      Pesan (mengatakan apa?)
3)      Media (melalui media apa?)
4)      Komunikan (kepada siapa?)
5)      Efek (dengan dampak/efek apa?)
Berdasarkan paradigma Lasswell tersebut, secara sederhana proses komunikasi adalah pihak komunikator membentuk pesan dan menyampaikannya melalui suatu saluran tertentu kepada pihak penerima yang menimbulkan efek tertentu.

2.      Dimensi-dimensi Komunikasi
1)      Isi
Isi adalah inti dari suatu proses komunikasi. Isi disebut sebagai informasi yang ingin disampaikan komunikator kepada komunikan agar mecapai pemahaman yang sama.

2)      Kebisingan
Kebisingan dapat diartikan sebagai tingkat tinggi rendahnya suara pada saat terjadi proses komunikasi. Karena tingkat tinggi rendahnya suara dapat mempengaruhi diterima atau tidaknya informasi yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan.
3)      Jaringan
Jaringan adalah sejauh mana jangkauan informasi seseorang.
4)      Arah
Arah terbagi menjadi dua, yaitu komunikasi satu arah dan dua arah.
Komunikasi satu arah difokuskan sebagai penyampaian pesan searah dari seseorang kepada seseorang lainnya baik secara langsung atau tidak langsung. Komunikasi jenis ini terpusat pada pengirim.
Komunikasi dua arah yaitu dari pengirim kepada penerima dan dari penerima kepada pengirim.

3.      Peran Psikologi Manajemen Dalam Organisasi
Psikologi manajemen sangat berperan penting dalam suatu organisasi karena psikologi manajemen mempelajari tentang tingkah laku manusia dalam proses perencanaan, pengorganisasian agar mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Organisasi digunakan sebagai tempat dimana orang-orang berkumpul, dan bekerja sama secara rasional dan sistematis, terorganisasi, terpimpin, dan terkendali untuk mencapai tujuan organisasi.
Peran psikologi manajemen dalam organisasi dapat mengatur proses perencanaan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan organisasi.

Daftar Pustaka
Afdjani, Hadiono. (2015). Ilmu komunikasi proses & strategi. Tangerang: Indigo Media
Effendy,Onong. (1994). Ilmu komunikasi: teori dan praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya
Suprapto, Tommy. (2009). Pengantar teori dan manajemen komunikasi. Yogyakarta: Media Pressindo