Psikoterapi
TERAPI PSIKOANALISIS
Dasar dari terapi psikoanalisis adalah konsep dari Sigmund
Freud dan beberapa pengikutnya. Tujuan dari psikoanalisis adalah menyadarkan
individu dari konflik yang tidak disadari serta mekasisme pertahanan (defense mechanism) yang digunakan untuk mengembalikan
kecemasan. Apabila motif dan rasa takut yang tidak disadari telah diketahui,
maka hal-hal tersebut dapat diatasi dengan cara yang lebih rasional dan
realistis.
TEKNIK-TEKNIK TERAPI PSIKOANALISIS
Teknik-teknik dalam Psikoanalisis
disesuaikan untuk meningkatkan kesadaran, memperoleh pemahaman intelektual atas
tingkah laku klien, serta untuk memahami makna dari beberapa gejala. Kemajuan
terapeutik diawali dari pembicaraan klien ke arah katarsis, pemahaman, hal-hal
yang tidak disadari, sampai dengan tujuan pemahaman masalah-masalah intelektual
dan emosional. Untuk itu diperlukan teknik-teknik dasar psikoanalisis, yaitu :
1.
Asosiasi Bebas
Asosiasi Bebas merupakan teknik utama dalam psikoanalisis.
Terapis meminta klien agar membersihkan pikirannya dari pikiran-pikiran dan
renungan-renungan sehari-hari, serta sedapat mungkin mengatakan apa saja yang
muncul dan melintas dalam pikiran. Cara yang khas adalah dengan mempersilakan
klien berbaring di atas balai-balai, sementara terapis duduk dibelakangnya sehingga
tidak mengalihkan perhatian klien pada saat-saat asosiasinya mengalir dengan
bebas.
Asosiasi bebas merupakan suatu metode pemanggilan kembali
pengalaman-pengalaman masa lampau dan pelepasan emosi-emosi yang berkaitan
dengan situasi traumatis masa lalu, yang kemudian dikenal dengan katarsis. Kartarsis hanya menghasilkan
perbedaan sementara atas pengalaman-pengalaman menyakitkan pada klien, tetapi
tidak memainkan peran utama dalam proses treatment (Corey, 1995).
2.
Penafsiran (Interpretasi)
Penafsiran merupakan prosedur dasar di dalam menganalisis
asosiasi bebas, mimpi-mimpi,
resistensi, dan transferensi. Caranya adalah dengan tindakan tindakan terapis
untuk menyatakan, menerangkan dan mengajarkan klirn makna-makna tingkah laku
apa yang dimanifestasikan dalam mimpi, asosiasi bebas, resistensi, dan hubungan
terapeutik itu sendiri. Fungsi dari penafsiran ini adalah mendorong ego untuk
mengasimilasi bahan-bahan baru dan mempercepat proses pengungkapan alam bawah sadar
secara lebih lanjud. Penafsiran yang diberikan oleh terapis menyebabkan adanya
pemahaman dan tidak terhalanginya alam bawah sadar pada diri klien. (Corey,
1995).
3.
Analisis Mimpi
Analisis Mimpi adalah prosedur atau cara yang penting untuk
mengungkap alam bawah sadar dan memberikan kepada klien pemahaman atas beberapa
area masalah yang tidak terselesaikan. Selama tidur, pertahanan-pertahanan
melemah, sehingga perasaan-perasaan yang direpres akan muncul kepermukaan, meski
dalam bentuk lain. Freud memandang bahwa mimpi merupakan “jalan istimewa menuju
ketidaksadaran”, karena melalui mimpi tersebut hasrat-hasrat,
kebutuhan-kebutuhan, dan ketakutan tak sadar dapat diungkapkan. Beberapa
motivasi sangat tidak dapat diterima oleh seseorang, sehingga akhirnya
diungkapkan dalam bentuk yang disamarkan atau disimbolkan dalam bentuk yang
berbeda.
Mimpi memiliki dua taraf, yaitu isi laten dan isi
manifes. Isi laten terdiri atas motif-motif yang disamarkan,
tersembunyi, simbolik, dan tidak disadari. Karena begitu menyakitkan dan
mengancam, maka dorongan-dorongan seksual dan perilaku agresif tak sadar (yang
merupakan isi laten) ditransformasikan ke dalam isi manifes yang lebih dapat
diterima, yaitu impian yang tampil pada si pemimpi sebagaimana adanya.
Sementara tugas terapis adalah mengungkapkan makna-makna yang disamarkan dengan
mempelajari simbol-simbol yang terdapat dalam isi manifes. Di dalam proses
terapi, terapis juga dapat meminta klien untuk mengasosiasikan secara bebas
sejumlah aspek isi manifes impian untuk mengungkapkan makna-makna yang
terselubung (Corey, 1995).
4.
Resistesi
Resistensi
adalah sesuatu yang melawan kelangsungan terapi dan mencegah klien mengemukakan
bahan yang tidak disadari. Selama asosiasi bebas dan analisis mimpi, klien
dapat menunjukkan ketidaksediaan untuk menghubungkan pikiran, perasaan, dan
pengalaman tertentu. Freud memandang bahwa resistensi dianggap sebagai dinamika
tak sadar yang digunakan oleh klien sebagai pertahanan terhadap kecemasan yang
tidak bisa dibiarkan, yang akan meningkat jika klien menjadi sadar atas
dorongan atau perasaan yang direpres tersebut.
Dalam proses
terapi, resistensi bukanlah sesuatu yang harus diatasi, karena merupakan
perwujudan dari pertahanan klien yang biasanya dilakukan sehari-hari.
Resistensi ini dapat dilihat sebagai sarana untuk bertahan klien terhadap
kecemasan, meski sebenarnya menghambat kemampuannya untuk menghadapi hidup yang
lebih memuaskan (Corey, 1995).
5. Transferensi
Resistensi
dan Transferensi merupakan dua hal inti dalam terapi psikoanalisis.
Transferensi dalam keadaan normal adalah pemindahan emosi dari satu objek ke
objek lainnya, atau secara lebih khusus pemindahan emosi dari orangtua kepada
terapis. Dalam keadaan neurosis, merupakan pemuasan libido klien yang diperoleh
melalui mekanisme pengganti atau lewat kasih sayang yang melekat dan kasih
sayang pengganti. Seperti ketika klien menjadi lekat dan jatuh cinta pada
terapis sebagai pemindahan dari orangtuanya (Chaplin, 1995).
Transferensi mengejawantah ketika dalam proses terapi “urusan
yang tidak selesai” (unfinished
business) masa lalu
klien dengan orang-orang yang dianggap berpengaruh menyebabkan klien
mendistorsi dan bereaksi terhadap terapis sebagaimana dia bereaksi terhadap
ayah/ibunya. Dalam hubungannya dengan terapis, klien mengalami kembali perasaan
menolak dan membenci sebagaimana yang dulu dirasakan kepada orangtuanya. Tugas
terapis adalah membangkitkan neurosis transferensi klien dengan kenetralan,
objektivitas, keanoniman dan kepasifan yang relatif. Dengan cara ini, maka
diharapkan klien dapat menghidupkan kembali masa lampaunya dalam terapi dan
memungkinan klien mampu memperoleh pemahaman dan sifat-sifat dari
fiksasi-fiksasi, konflik-konflik atau deprivasi-deprivasinya, serta mengatakan
kepada klien suatu pemahaman mengenai pengaruh masa lalu terhadap kehidupannya
saat ini (Corey, 1995).
Behavioristik
Behaviorisme adalah aliran dalam psikologi
yang didirikan oleh John B. Watson pada tahun 1913 dan digerakkan oleh Burrhus
Frederic Skinner. Behaviorisme lahir sebagai reaksi atas psikoanalisis yang
berbicara tentang alam bawah yang tidak tampak. Behaviorisme ingin
menganalisis bahwa perilaku yang tampak saja yang dapat diukur, dilukiskan dan
diramalkan. Terapi perilaku ini lebih mengkonsentrasikan pada modifikasi
tindakan, dan berfokus pada perilaku saat ini daripada masa lampau. Belakangan
kaum behavioris lebih dikenal dengan teori belajar, karena menurut mereka,
seluruh perilaku manusia adalah hasil belajar. Belajar artinya perubahan
perilaku organisme sebagai pengaruh lingkungan.
Terdapat beberapa teknik dalam konseling behaviorisme, yaitu
a.
Desentisiasi Sistematis
Teknik relaksasi yang digunakan untuk menghapus perilaku yang
diperkuat secara negatif, biasanya berupa kecemasan, dan ia menyertakan respon
berlawanan dengan perilaku yang akan dihilangkan.
b.
Terapi Impolsif
Dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa seseorang yang secara
berulang-ulang dihadapkan pada suatu situasi penghasil kecemasan dan
konsekuensi-konsekuensi yang menakutkan ternyata tidak muncul, maka kecemasan
akan menghilang.
c.
Latihan Perilaku Asertif
Digunakan untuk melatih individu yang mengalami kesulitan untuk
menyatakan diri bahwa tindakannya adalah layak atau benar.
d.
Pengkondisian Aversi
Dilakukan untuk meredakan perilaku simptopatik dengan cara
menyajikan stimulus yang tidak menyenangkan (menyakitkan) sehingga perilaku
yang tidak dikehendaki tersebut terhambat kemunculannya.
e.
Pembentukan Perilaku Model
Digunakan untuk membentuk perilaku baru klien dan memperkuat
perilaku yang sudah terbentuk
Humanistik
Pendekatan Humanistik
menganggap bahwa setiap manusia itu unik dan setiap manusia sebenarnya mampu
menyelesaikan masalahnya sendiri. Setiap manusia dengan keunikannya bebas
menentukan pilihan hidupnya sendiri. Oleh karena itu, dalam terapi humanistik,
seorang psikoterapis berperan sebagai fasilitator perubahan saja, bukan
mengarahkan perubahan. Psikoterapis tidak mencoba untuk mempengaruhi klien,
melainkan memberi kesempatan klien untuk memunculkan kesadaran dan berubah atas
dasar kesadarannya sendiri. psikologi
humanistik atau disebut juga dengan nama psikologi kemanusiaan adalah suatu
pendekatan yang multifaset terhadap pengalaman dan tingkah laku manusia, yang
memusatkan perhatian pada keunikan dan aktualisasi diri manusia.
Teknik yang
digunakan dalam Behavioristik adalah
1.
Person-Centered
Therapy (Carl R. Rogers)
Terapi ini cocok untuk
orang-orang dengan masalah psikologis yang ada ketidakbahagiaan dalam dirinya,
mereka biasanya akan mengalami masalah emosional dalam hubungan dikehidupannya,
sehingga menjadi orang yang tidak berfungsi sepenuhnya.
Terapi ini tidak
memiliki metode atau teknik yang spesifik, sikap-sikap terapis dan kepercayaan
antara terapis dan klienlah yang berperan penting dalam proses terapi. Terapis
membangun hubungan yang membantu, dimana klien akan mengalami kebebasan untuk mengeksplorasi
area-area kehidupannya yang sekarang diingkari atau didistorsinya. Terapis
memandang klien sebagai narator aktif yang membangun terapi secara interaktif
dan sinergis untuk perubahan yang positif. Dalam terapi ini pada umumnya
menggunakan teknik dasar mencakup mendengarkan aktif, merefleksikan
perasaan-perasaan atau pengalaman, menjelaskan, dan “hadir” bagi klien, namun
tidak memasukkan pengetesan diagnostik, penafsiran, kasus sejarah, dan bertanya
atau menggali informasi. Untuk terapis person centered, kualitas hubungan
terapi jauh lebih penting daripada teknis. Terapis harus membawa ke dalam
hubungan tersebut sifat-sifat khas yang berikut;
- Menerima : Terapis
menerima pasien dengan respek tanpa menilai atau mengadilinya entah secara
positif atau negatif. Pasien dihargai dan diterima tanpa syarat. Dengan
sikap ini terapis memberi kepercayaan sepenuhnya kepada kemampuan pasien
untuk meningkatkan pemahaman dirinya dan perubahan yang positif.
- Keselarasan : Terapis
dikatakan selaras dalam pengertian bahwa tidak ada kontradiksi antara apa
yang dilakukannya dan apa yang dikatakannya.
- Pemahaman : Terapis mampu
melihat pasien dalam cara empatik yang akurat. Dia memiliki pemahaman
konotatif dan juga kognitif.
- Mampu mengkomunikasikan
sifat-sifat khas ini : Terapis mampu mengkomunikasikan penerimaan,
keselarasan dan pemahaman kepada pasien sedemikian rupa sehingga membuat
perasaan-perasaan terapis jelas bagi pasien.
- Hubungan yang membawa
akibat: Suatu hubungan yang bersifat mendukung (supportive
relationship), yang aman dan bebas dari ancaman akan muncul dari
teknik-teknik diatas.
2. Gestalt
Therapy (Fritz Perls)
Terapi Gestalt adalah suatu terapi yang
eksistensial yang menekankan kesadaran disini dan sekarang. Konsep-konsep
utamanya mencakup penerimaan tanggung jawaab pribadi, hidup pada saat sekarang,
pengalaman langsung, penghindaran diri, urusan yang tidak sesuai dan penembusan
jalan buntu.
Sasaran terapeutik utamanya adalah menantang klien
untuk beralih dari dukungan lingkungan kepada dukungan sendiri. Dalam
pendekatan ini, terapis membantu klien agar mengalami penuh segenap perasaannya
dan supaya klien mampu membuat penafsiran-penafsiran sendiri. Serta terapis
lebih memusatkan perhatian pada bagaimana klien bertindak.
Salah satu kelebihan
terapi Gestalt adalah pengalaman-pengalaman masa lampau klien yang relevan
dibawa ke saat sekarang, sehingga hasilnya jauh lebih baik disbanding dengan
hanya membicarakan keterangan histiris klien secara abstrak. Akan tetapi,
terapi Gestalt cenderung anti-intelektual dalam arti kurang memperhitungkan
factor-faktor kognitif.
Daftar Pustaka:
Pihasniwati. (2008). Psikologi konseling
upaya pendekatan integrasi-interkoneksi. Jogjakarta: Teras.
Corey, Gerald. (2009). Teori dan Praktek dari Konseling
dan Psikoterapi. Bandung: PT Refika Aditama.